Kajian Lingkungan Strategis

(Strategic Environmental Assessment)

Selasa, 03 Mei 2011

Mengenai Lingkungan

Lingkungan merupakan kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut.
Lingkungan terdiri dari komponen abiotik dan biotik. Komponen abiotik merupakan segala yang tidak bernyawa seperti tanah, udara, air, iklim, kelembaban, cahaya, bunyi. Sedangkan komponen biotik adalah segala sesuatu yang bernyawa seperti tumbuhan, hewan, manusia dan mikro-organisme (virus dan bakteri).
Ilmu yang mempelajari lingkungan adalah ilmu lingkungan atau ekologi. Ilmu lingkungan adalah cabang dari ilmu biologi. Lingkungan di Indonesia sering juga disebut "Lingkungan hidup". Misalnya dalam Undang-Undang no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, definisi Lingkungan Hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Senin, 02 Mei 2011

EFEK RUMAH KACA

Efek Rumah Kaca merupakan bertambahnya gas rumah kaca hasil aktivitas manusia membuat bertambahnya panas matahari tertahan di atmosfer sehingga terjadi perubahan iklim. Ketika Bumi menerima panas dari matahari, secara alami sebagian panas akan terperangkap di atmosfer akibat adanya beberapa jenis gas. Gas-gas yang menangkap panas tersebut dikenal sebagai gas rumah kaca (GRK) karena cara kerjanya mirip rumah kaca (greenhouse) di mana suhu di dalamnya diatur agar cukup hangat sehingga tanaman dapat tumbuh. Terperangkapnya panas oleh gas-gas di atmosfer dikenal dengan istilah ‘efek rumah kaca’.
Sebenarnya efek rumah kaca merupakan proses alami yang diperlukan agar permukaan bumi cukup hangat untuk didiami. Sayangnya, aktivitas manusia mengganggu kondisi alami dan membuat konsentrasi GRK semakin tinggi sehingga panas yang terperangkap di atmosfer semakin tinggi dan menyebabkan suhu permukaan bumi semakin panas. Karena suhu yang hangat, rumah kaca untuk tanaman jarang untuk tanaman jarang digunakan di Indonesia sehingga mungkin istliah 'efek rumah kaca' cenderung asing. Proses yang terjadi di dalam rumah kaca mirip dengan apa yang terjadi di dalam sebuah mobil yang diparkir di luar saat matahari sedang terik. Panas matahari mask ke dalam mobil, kemudian panas tersebut tertahan di dalam sehingga membuat suhu di dalam mobil menjadi panas.

GLOBAL WARMING

Saat ini tidak jelas kapan musim hujan mulai dan berakhir. Banjir dan badai semakin sering terjadi. Kasus penyakit malaria dan demam berdarah terus meningkat. Intiya sekarang ini perubahan iklim sudah terjadi. Ada banyak hal yang perlu dipikirkan – akibat-akibat apa yang akan disebabkan oleh perubahan iklim pada akhirnya. Sehingga bisa merubah pola pikir dalam melakukan kegiatan sehari-hari, baik dari skala personal, lokal dan global.

Mitigasi
Salah satu cara menahan laju perubahan iklim adalah mengurangi emisi hasil aktivitas manusia. Ini bisa dilakukan antara lain dengan menggunakan bahan bakar dari sumber energi yang lebih bersih, seperti beralih dari batubara ke gas, atau menggunakan sumber energi terbarukan seperti tenaga matahari atau biomassa. Selain itu, mengurangi penggunaan bahan bakar untuk kendaraan bermotor dan menghemat listrik juga mengurangi emisi . Usaha-usaha seperti ini disebut mitigasi. Melalui Protokol Kyoto, usaha-usaha mitigasi dilakukan secara global. 
Salah satu usaha yang dilakukan adalah CDM (clean development mechanism, atau mekanisme pembangunan bersih) yang memungkinkan aktivitas pelestarian lingkungan hidup dan ekonomi dilakukan secara bersama-sama. Melalui kerjasama dengan negara maju, negara berkembang bisa menerima manfaat dengan adanya tambahan dana dan alih teknologi untuk menjalankan kegiatan yang mengurangi emisi sekaligus mendukung tercapainya pembangunan berkelanjutan.

Adaptasi
Perubahan iklim yang sedang terjadi berikut segala dampaknya tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, harus dilakukan upaya adaptasi, yaitu mempersiapkan diri dan hidup dengan berbagai perubahan akibat perubahan iklim, baik yang telah terjadi maupun mengantisipasi dampak yang mungkin terjadi. Beradaptasi terhadap kedua macam dampak perubahan iklim – kejadian ekstrem dan dampak perlahan – memerlukan strategi yang berbeda. 
Mempersiapkan diri menghadapi kejadian ekstrem dilakukan dengan menyusun rencana penanganan bila terjadi bencana alam, seperti badai dan banjir. Sedangkan menghadapi perubahan perlahan memerlukan kemauan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan yang terus berubah. Sebenarnya penanganan masalah lingkungan, seperti reboisasi atau rehabilitasi terumbu karang yang rusak, sudah merupakan kegiatan adaptasi terhadap perubahan iklim. Namun, kegiatan tersebut perlu diperkuat dengan menyertakan pertimbangan mengenai dampak perubahan iklim. Usaha mengurangi kemiskinan juga merupakan kegiatan adaptasi karena masyarakat miskin paling rentan terhadap dampak perubahan iklim dengan minimnya kemampuan mereka untuk beradaptasi. 
Contoh adaptasi terhadap kejadian ekstrem adalah dengan mengantisipasi bencana alam yang bisa semakin sering terjadi karena adanya perubahan iklim. Ini bisa dilakukan dengan membuat sistem peringatan dini di daerah yang dinilai rawan badai serta memberi petunjuk mengenai apa yang harus dilakukan masyarakat bila badai terjadi. Contoh adaptasi terhadap dampak perubahan iklim perlahan adalah membuat perlindungan bagi masyarakat yang tinggal di pesisir dengan cara menanam hutan bakau. Adanya hutan bakau mengurangi kemungkingan erosi pantai dan intrusi air laut ke dalam sumber air bersih akibat naiknya permukaan air laut.

DOWNLOAD brosur Perubahan Iklim____disini

Rabu, 27 April 2011

Keanekaragaman Hayati dan Pemanfaatan Sumberdaya Berkelanjutan

ScienceDaily (27 Maret 2011) - Ketika penduduk lokal diizinkan untuk membuat aturan tentang pengelolaan hutan terdekat, hutan lebih cenderung untuk memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar kepada rumah tangga dan mengandung keanekaragaman hayati lebih, dua peneliti dari University of Michigan dan koleganya menyimpulkan dari analisis praktek kehutanan di negara berkembang wilayah tropis Afrika Timur dan Asia Selatan.
Lauren Persha dan Arun Agrawal dari University of Michigan dan Ashwini Chhatre dari University of Illinois memperlihatkan bukti dari lebih dari 80 lokasi hutan di enam negara tropis untuk menguji bagaimana partisipasi lokal mempengaruhi manfaat sosial dan ekologi dari hutan. Manfaat sosial termasuk akses ke produk hutan dimana rumahtangga mereka membutuhkan,  kayu bakar, pakan untuk ternak dan kayu untuk pembangunan perumahan dan perabotannya. Ini merupakan manfaat ekologi utama keanekaragaman hayati hutan tropis. Hasil penelitian tim ini juga telah diumumkan pada tanggal 25 Maret di jurnal Science.  "Ada perbedaan pendapat besar di kalangan ilmuwan tentang apakah itu mungkin untuk bisa dicapai keduanya baik itu manfaat ekonomi dan ekologi secara bersamaan  dari hutan, tapi dengan sedikit upaya untuk memahami kondisi-kondisi yang mungkin menyebabkan ini," kata Persha, penulis utama kertas dan peneliti postdoctoral dari Univeristy of Michigan. "Penelitian kami adalah salah satu dari sangat sedikit yang telah mampu melakukan jenis analisis secara sistematis di sejumlah besar kasus di berbagai negara."
Persha dan rekan-rekannya menganalisa pola konservasi keanekaragaman hayati dan kehidupan rumah tangga berbasis hutan di 80 lokasi penelitian. Kekayaan spesies pohon  digunakan sebagai indikator keanekaragaman hayati hutan. Jumlah persentase rumah tangga yang secara signifikan bergantung pada hutan untuk mata pencaharian digunakan sebagai indikator kontribusi penghidupan hutan. Sebuah sistem hutan berkelanjutan didefinisikan sebagai salah satu di mana kedua kekayaan  jenis pohon dan kontribusi mata pencaharian diatas rata-rata.
Dalam menentukan faktor-faktor yang membantu untuk menjelaskan hasil, analisis menunjukkan bahwa hutan secara signifikan lebih mungkin berkelanjutan bila penduduk  lokal  secara resmi diakui haknya untuk berpartisipasi dalam pembuatan peraturan hutan, sementara hutan tidak berkelanjutan lebih mungkin ketika mereka tidak memiliki hak ini.  "Ini pelajaran bagi pemerintah tentang bagaimana membuat kebijakan untuk mengelola dan mengatur hutan mereka," kata Agrawal, profesor dan dekan penelitian asosiasi di SNRE Ratusan juta orang di daerah tropis kehidupan mereka bergantung pada hutan.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah dalam hampir dua-pertiga dari negara berkembang telah mencoba untuk melibatkan setiap rumah tangga pedesaan dan organisasi masyarakat dalam pengelolaan hutan. Seringkali, tujuannya adalah untuk memperbaiki hasil sosial dan ekologi dengan memberikan insentif lokal warga untuk mengelola hutan secara lestari. Dalam beberapa upaya membenahi tujuan ini tentu berimplikasi pada perbedaan pendapat dan pertentangan. Untuk itu perlu studi yang panjang mengingat beberapa kasus penyelesaian konflik ini tidak berhasil. Ketika peran aktif masyarakat setempat diperlukan untuk keberlanjutan hutan tropis, aspek ekologis dan ekonomis, peran tata pengelolaan hutan dari pemerintah masih menentukan untuk sustainability hutan. (www.sciencedaily.com) dirangkum oleh D.I

Presiden Harus Stop Izin Pertambangan!!

Samarinda, Kompas.com (1/4/11) — Pertambangan batu bara di Samarinda, Kalimaman Timur, harus distop atau setidaknya distop sementara untuk ditata ulang. Jika pemerintah daerah dan pemerintah pusat melalui kementerian-kementerian terkait tak bisa menyelesaikan, maka satu-satunya harapan adalah presiden. Hal itu ditegaskan dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Kahar Al Bahri, Kamis (31/3/2011). Menurut dia, 72 persen dari wilayah Samarinda yang totalnya 718 km persegi atau 718.000 hektar merupakan lahan izin penambangan batu bara. Jatam memperkirakan, dari 72 persen tersebut, 40 persen di antaranya sudah dan sedang ditambang.   Terdapat 59 izin penambangan di Samarinda yang berstatus izin usaha pertambangan (IUP), kuasa pertambangan (KP), dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B).
IUP diterbitkan daerah, sedangkan PKP2B oleh pusat. Dinas Pertambangan dan Energi Samarinda menyebut bahwa separuh dari total lahan izin penambangan ini berstatus PKP2B. "Beberapa menteri sudah datang melihat lokasi penambangan di Samarinda. Namun, mereka tak memberi ketegasan apa-apa, dan itu sudah bertahun-tahun. Artinya, kalau sudah begini, harapan tinggal pada presiden," ujar Kahar. Wakil Ketua Komisi III DPRD Samarinda Munir Achmad juga merasa kecewa kepada Pemkot Samarinda. "Data-data penambangan harus kami minta dari Pemkot. Saya pernah meminta data terkini kondisi pertambangan, tetapi yang diberikan kondisi tiga bulan lalu. Pemkot punya hak menindak tegas penambangan, tetapi hal itu tidak dilakukan. Saya rasa, jika tak juga ada solusi, masalah ini harus diketahui presiden," katanya. Penambangan batu bara di Kalimaman Timur (Kaltim) sudah mencemaskan karena banyak perusahaan tak menaati aturan. Bahkan sebuah perusahaan batu bara di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), yakni PT Penajam Prima Coal (PPC), ditutup sementara. Sebab, perusahaan tersebut membuka areal tambang di daerah aliran sungai (DAS) Lawe-lawe.
Daerah tersebut merupakan sumber bahan baku air PDAM. Kepala Bagian Humas Pemkab PPU Budi Santoso mengatakan, dalam waktu dekat, pemkab akan bertemu dengan pihak PT PPC. Berdasarkan data Jatam, sejak 2003-2009, telah keluar 1.271 izin pertambangan di Kaltim. Sampai saat ini, data tak menunjukkan secara jelas, berapa luas penambangan dan reklamasi yang dilakukan. Produksi batu bara tahun 2010 di Kaltim mencapai 183 juta ton, 80 persennya dijual ke luar. Hanya lima persen yang digunakan untuk kebutuhan di Kalimantan. Sisanya guna memenuhi kebutuhan listrik di Jawa-Bali. Ini ironis mengingat banyak daerah di Kalimantan sekitar area penambangan yang kurang pasokan listrik. Area penambangan juga memicu potensi konflik perusahaan-warga. Luasan area penambangan Kaltim 4,1 juta hektar. Sekadar perbandingan, luas negara Swiss 4,1 juta hektar dan luas Provinsi Kalimantan Selatan 3,7 hektar. Cerukan-cerukan raksasa berisi genangan limbah asam juga bertebaran. Di Kabupaten Kutai Kartanegara saja ada 31 lubang seluas 838 hektar yang belum direklamasi. Jatam berani beradu data, fakta, dan argumen seputar penambangan.(LAP)

Apa Itu KLHS ??


Kebutuhan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di Indonesia mulai dirasakan sejak tahun 1998 karena krisis dan bencana lingkungan hidup berlangsung tiada henti dan pada saat itu AMDAL Regional tidak dapat mengatasi masalah tersebut. Kedua, data menunjukkan bahwa sejak dilaksanakan otonomi daerah kondisi lingkungan daerah terus menurun. Ketiga, bencana tsunami di Aceh tahun 2004 memperkuat kebutuhan akan KLHS dan berhasil mempersatukan Bappenas, Depdagri dan KLH dalam kesepakatan untuk membuat Strategic Environment Assessment (SEA) di Aceh.  Ketiga momen tersebut menjadi latar belakang perlunya dilaksanakan KLHS dalam Kebijakan, Rencana, dan Program (KRP).

Ada dua definisi KLHS yang lazim diterapkan, yaitu definisi yang menekankan pada telaah dampak lingkungan (EIA-driven) dan pendekatan keberlanjutan (sustainability-driven). telaah dampak lingkungan (EIA-driven), KLHS berfungsi untuk menelaah efek atau dampak lingkungan dari suatu kebijakan, rencana atau program pembangunan. Sedangkan pendekatan keberlanjutan (sustainability-driven), menekankan pada keberlanjutan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya.
Secara prinsip sebenarnya KLHS merupakan suatu self assessment untuk melihat sejauh mana Kebijakan, Rencana atau Program (KRP) yang diusulkan oleh pemerintah atau pemerintah daerah telah mempertimbangkan prinsip pembangunan berkelanjutan. Dengan KLHS ini pula diharapkan KRP yang dihasilkan dan ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah menjadi lebih baik.

Manfaat melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis

a)     Merupakan instrumen proaktif dan sarana pendukung pengambilan keputusan.
b)     Mengidentifikasi dan mempertimbangkan peluang-peluang baru melalui pengkajian secara sistematis dan cermat atas opsi-opsi pembangunan yang tersedia
c)     Mempertimbangkan aspek lingkungan hidup secara lebih sistematis pada jenjang pengambilan keputusan yang lebih tinggi.
d)     Mencegah kesalahan investasi dengan mengingatkan para pengambil keputusan akan adanya peluang pembangunan yang tidak berkelanjutan sejak tahap awal proses pengambilan keputusan.
e)     Tata pengaturan (governance) yang lebih baik berkat terbangunnya keterlibatan para pihak (stakeholders) dalam proses pengambilan keputusan melalui proses konsultasi dan partisipasi